Oleh: Rido Aprianda
·
Bangsa yang Pelik
Mungkin
sebelumnya perlu dijelaskan latar belakang penulis, saya sewaktu SMA
berkecimpung sebagai Ketua Tim Olimpiade Ekonomi-Akuntansi SMA Plus N 2
Banyuasin III untuk delegasi Kabupaten dan Provinsi, pernah juga ’mencicipi’
Peringkat 4 Lomba Debat Festival Ekonomi Kreatif Seluruh Indonesia (FEKSI) Zona
Sumsel 2010, saat ini sebagai anggota KSEI (Kelompok Studi Ekonomi Islam)
Ukhuwah FE UNSRI, Palembang.
Sejak
dulu, saya sudah memfokuskan diri dengan ekonomi kerakyatan, pola ekonomi yang
dikonsep oleh ‘Founding Father’ dalam konstitusi yang dengan kejam dikhianati
oleh pemerintah selama beberapa dasawarsa ini. Tengoklah kembali amanat UUD
1945 yang menyebutkan peningkatan taraf hidup rakyat melalui penguasaan bumi
dan air oleh negara untuk kemakmuran bangsa. Penekanan disini adalah politik
dan strategi ekonomi yang mesti dijalankan pemerintah terhadap sumber-sumber
kekayaan yang melimpah ruah di negeri ini. Toh nyatanya, negara kita yang dibom
minyak era 80-an kini malah jadi importir, harga minyak melambung, subsidi
mengancam devisa, persoalan pelik lahan sawit, belum lagi masalah tambang emas
PT. Freeport di Papua, atau limbah tercemar PT. Newmont.
Saya
sebenarnya sangat risih kalau ada yang bilang, “Indonesia negara bodoh”,
“Stupid Bloody Countries” (lha Anda cari makan dan numpang hidup di mana?).
Tapi itulah faktanya, lebih tepatnya adalah “salah urus” terhadap potensi besar
negara besar. Kemiskinan dan ketimpangan pembangunan, seperti kata Bang Haji
Rhoma, “Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin.” Seingat saya usia lagu
ini sudah 31 tahun dan faktanya tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Betapa
kemakmuran hanya dirasakan oleh sekelompok kecil orang yang mampu mendekati
penguasa, ya beda-beda tipis penguasa dan pengusaha atau bahkan keduanya ada
dalam jiwa satu orang.
Klaim-klaim
pemerintah selama ini bahwa target pertumbuhan ekonomi tercapai, tidak bisa
disalahkan. Angka kuantitatif menurut statistika memang perlu untuk menjelaskan
suatu keadaan. Tapi seperti disebutkan Prof. Secrs, pembangunan &
pertumbuhan ekonomi harus mampu menjawab tiga pertanyaan, “1. Ada apa dengan
kemiskinan; 2. Ada apa dengan
pengangguran; 3. Ada apa dengan ketimpangan.” Kalau standar kualitatif berupa
pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan tidak mampu dijawab
dengan baik, wallahua’lam dengan masa
depan suatu negara akan kebanggaan ekonomi yang rapuh yang bersandar pada
angka-angka.
·
Ekonomi Kreatif vs Kreatif Ekonomi
Nampaknya
pemerintah mulai menyadari bahwa peran ekonomi kreatif sangat penting bagi
suatu negara, Singapura yang relatif kecil dalam hal jumlah penduduk ekonominya
didorong oleh Enterpreneur-enterpreneur kreatif mencapai 7% (sekitar 350.000
orang) sedangkan Indonesia sekitar 1,56% atau baru 400.000 wirausaha.
Setidaknya untuk negara sebesar Indonesia, jumlah wirausaha sekitar 1,2 Juta
orang (5% dari total jumlah penduduk). Persoalan ini sewaktu saya mengikuti
debat adalah topik hangat yang sering dilontarkan juri. Rupanya Kementerian
Perdagangan sengaja mendorong acara ini untuk memunculkan ekonomi kreatif
sebagai pionir ekonomi. Tepat setahun kemudian, 2011, saat reshuffle kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Ibu Marie Elka
Pangestu yang sebelumnya memimpin Kementerian Perdagangan diamanahi untuk
memegang kendali Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif (perubahan nama
dari sebelumnya Kementerian Pariwisata & Kebudayaan).
Ekonomi
kreatif diyakini dapat menjawab tantangan permasalahan dasar jangka pendek dan
jangka menengah. Ekonomi kreatif juga diharapkan dapat menjawab tantangan
seperti isu global warming, energi
yang terbarukan, deforestasi, dan pengurangan emisi karbon, karena arah
pengembangan industri kreatif ini akan menuju pola industri ramah lingkungan
dan penciptaan nilai tambah produk dan jasa yang berasal dari intelektualitas
sumber daya insani yang dimiliki Indonesia, dimana intelektualitas sumber daya
insani merupakan sumbr daya yang terbarukan.
·
Islam as Rahmatan Lil ‘Alamin
Islam menyediakan segala aspek eksistensi
manusia yang mengupayakan sebuah tatanan yang didasarkan pada seperangkat
konsep Hablumminallah dan Hablumminnas. Allah
taala berfirman, “Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Q.S Al-Maidah:3). Agama ini telah dengan jelas memberikan
aturan-aturan yang bertujuan untuk memberikan kebaikan hidup bagi seluruh umat
manusia.
Bukankah dinnul haq ini selalu
mengajarkan seperti itu, berbuat baik kepada orang tua, tetangga, dan rukun
terhadap sesama untuk mendukung kesempurnaan ibadah? Bagaimana zakat dan sedekah mengajarkan kita untuk meringankan
penderitaan sesama. Tapi ekonomi Islam tidak hanya itu, ekonomi Islam juga
mengajarkan prinsip-prinsip kebaikan dalam bertransaksi, mengajarkan asas
keadilan dan kesempatan ekonomi. Suatu hal yang menjadi jawaban atas persoalan
ekonomi modern yang tak lagi jujur, tak lagi melihat ketimpangan sebagai
persoalan yang harus diselesaikan bersama, karena mereka, para jetset hanya berkutat pada aliran modal
jangka pendek, saham, dan macam-macam bentuk likuiditas.
·
Ekonomi Kerakyatan, Ekonomi Kreatif, Ekonomi
Islam=Sempurna
Pandangan kapitalis
barat selama ini getol menyatakan bahwa kemajuan ekonomi dan keadilan tidak
mungkin bisa didapatkan secara bersamaan. Kesenjangan ekonomi menurut mereka,
adalah sebuah keniscayaan paling penting dalam mewujudkan kemajuan dan
pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sementara dalam sistem ekonomi Islam kemajuan
minus keadilan adalah tidak bernilai sama sekali. Pandangan ini sebenarnya
sejalan dengan pemikiran pendiri bangsa Indonesia yang menginginkan
kesejahteraan material yang umum dan merata bagi seluruh tumpah darah
Indonesia.
Dalam tantangannya
memang diperlukan kegiatan ekonomi kreatif yang mendukung “dulang pembangunan”
dari bawah, wirausaha adalah pekerjaan yang membebaskan seseorang untuk
berinovasi dan berkreasi, karena sepandai-pandainya kita kalau dapat atasan
yang lemot, lebay, alay, kamseupay tidak akan bisa mengembangkan kreativitas.
Wirausaha juga dapat merasakan suasana ekstrem syukur dan ekstrem sabar saat
pasang surut penghasilan. Dalam Al-Mughnu
Hamlil Asfar, Al-Hafizh Al-‘Iraqi Hadist No.1576 menyebutkan, “Hendaklah kalian berdagang karena berdagang
merupakan sembilan dari sepuluh pintu rezeki.”
Dalam bagian ini penulis ingin menyimpulkan
bahwa sesungguhnya Islam sebagai agama yang sempurna memberikan penuntun yang
lengkap dalam segala bidang termasuk bidang muamalah, kalaupun ada yang mesti
berubah adalah hal bersifat teknis dalam praktik sedangkan aspek fikihnya
tetap. Semoga kesejahteraan rakyat
Indonesia bisa cepat tercapai!!
0 komentar:
Posting Komentar