Senin, 17 Desember 2012

Ekonomi Islam, Ekonomi Kreatif atau Ekonomi Rakyat?

Oleh: Rido Aprianda
·           Bangsa yang Pelik
            Mungkin sebelumnya perlu dijelaskan latar belakang penulis, saya sewaktu SMA berkecimpung sebagai Ketua Tim Olimpiade Ekonomi-Akuntansi SMA Plus N 2 Banyuasin III untuk delegasi Kabupaten dan Provinsi, pernah juga ’mencicipi’ Peringkat 4 Lomba Debat Festival Ekonomi Kreatif Seluruh Indonesia (FEKSI) Zona Sumsel 2010, saat ini sebagai anggota KSEI (Kelompok Studi Ekonomi Islam) Ukhuwah FE UNSRI, Palembang.
            Sejak dulu, saya sudah memfokuskan diri dengan ekonomi kerakyatan, pola ekonomi yang dikonsep oleh ‘Founding Father’ dalam konstitusi yang dengan kejam dikhianati oleh pemerintah selama beberapa dasawarsa ini. Tengoklah kembali amanat UUD 1945 yang menyebutkan peningkatan taraf hidup rakyat melalui penguasaan bumi dan air oleh negara untuk kemakmuran bangsa. Penekanan disini adalah politik dan strategi ekonomi yang mesti dijalankan pemerintah terhadap sumber-sumber kekayaan yang melimpah ruah di negeri ini. Toh nyatanya, negara kita yang dibom minyak era 80-an kini malah jadi importir, harga minyak melambung, subsidi mengancam devisa, persoalan pelik lahan sawit, belum lagi masalah tambang emas PT. Freeport di Papua, atau limbah tercemar PT. Newmont.
            Saya sebenarnya sangat risih kalau ada yang bilang, “Indonesia negara bodoh”, “Stupid Bloody Countries” (lha Anda cari makan dan numpang hidup di mana?). Tapi itulah faktanya, lebih tepatnya adalah “salah urus” terhadap potensi besar negara besar. Kemiskinan dan ketimpangan pembangunan, seperti kata Bang Haji Rhoma, “Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin.” Seingat saya usia lagu ini sudah 31 tahun dan faktanya tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Betapa kemakmuran hanya dirasakan oleh sekelompok kecil orang yang mampu mendekati penguasa, ya beda-beda tipis penguasa dan pengusaha atau bahkan keduanya ada dalam jiwa satu orang.
            Klaim-klaim pemerintah selama ini bahwa target pertumbuhan ekonomi tercapai, tidak bisa disalahkan. Angka kuantitatif menurut statistika memang perlu untuk menjelaskan suatu keadaan. Tapi seperti disebutkan Prof. Secrs, pembangunan & pertumbuhan ekonomi harus mampu menjawab tiga pertanyaan, “1. Ada apa dengan kemiskinan; 2. Ada apa  dengan pengangguran; 3. Ada apa dengan ketimpangan.” Kalau standar kualitatif berupa pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan tidak mampu dijawab dengan baik, wallahua’lam dengan masa depan suatu negara akan kebanggaan ekonomi yang rapuh yang bersandar pada angka-angka.

·           Ekonomi Kreatif vs Kreatif Ekonomi
            Nampaknya pemerintah mulai menyadari bahwa peran ekonomi kreatif sangat penting bagi suatu negara, Singapura yang relatif kecil dalam hal jumlah penduduk ekonominya didorong oleh Enterpreneur-enterpreneur kreatif mencapai 7% (sekitar 350.000 orang) sedangkan Indonesia sekitar 1,56% atau baru 400.000 wirausaha. Setidaknya untuk negara sebesar Indonesia, jumlah wirausaha sekitar 1,2 Juta orang (5% dari total jumlah penduduk). Persoalan ini sewaktu saya mengikuti debat adalah topik hangat yang sering dilontarkan juri. Rupanya Kementerian Perdagangan sengaja mendorong acara ini untuk memunculkan ekonomi kreatif sebagai pionir ekonomi. Tepat setahun kemudian, 2011, saat reshuffle kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Ibu Marie Elka Pangestu yang sebelumnya memimpin Kementerian Perdagangan diamanahi untuk memegang kendali Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif (perubahan nama dari sebelumnya Kementerian Pariwisata & Kebudayaan).
            Ekonomi kreatif diyakini dapat menjawab tantangan permasalahan dasar jangka pendek dan jangka menengah. Ekonomi kreatif juga diharapkan dapat menjawab tantangan seperti isu global warming, energi yang terbarukan, deforestasi, dan pengurangan emisi karbon, karena arah pengembangan industri kreatif ini akan menuju pola industri ramah lingkungan dan penciptaan nilai tambah produk dan jasa yang berasal dari intelektualitas sumber daya insani yang dimiliki Indonesia, dimana intelektualitas sumber daya insani merupakan sumbr daya yang terbarukan.

·           Islam as Rahmatan Lil ‘Alamin
            Islam menyediakan segala aspek eksistensi manusia yang mengupayakan sebuah tatanan yang didasarkan pada seperangkat konsep Hablumminallah dan Hablumminnas. Allah taala berfirman,Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Q.S Al-Maidah:3). Agama ini telah dengan jelas memberikan aturan-aturan yang bertujuan untuk memberikan kebaikan hidup bagi seluruh umat manusia.
Bukankah dinnul haq ini selalu mengajarkan seperti itu, berbuat baik kepada orang tua, tetangga, dan rukun terhadap sesama untuk mendukung kesempurnaan ibadah? Bagaimana zakat dan sedekah mengajarkan kita untuk meringankan penderitaan sesama. Tapi ekonomi Islam tidak hanya itu, ekonomi Islam juga mengajarkan prinsip-prinsip kebaikan dalam bertransaksi, mengajarkan asas keadilan dan kesempatan ekonomi. Suatu hal yang menjadi jawaban atas persoalan ekonomi modern yang tak lagi jujur, tak lagi melihat ketimpangan sebagai persoalan yang harus diselesaikan bersama, karena mereka, para jetset hanya berkutat pada aliran modal jangka pendek, saham, dan macam-macam bentuk likuiditas.

·           Ekonomi Kerakyatan, Ekonomi Kreatif, Ekonomi Islam=Sempurna
                        Pandangan kapitalis barat selama ini getol menyatakan bahwa kemajuan ekonomi dan keadilan tidak mungkin bisa didapatkan secara bersamaan. Kesenjangan ekonomi menurut mereka, adalah sebuah keniscayaan paling penting dalam mewujudkan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sementara dalam sistem ekonomi Islam kemajuan minus keadilan adalah tidak bernilai sama sekali. Pandangan ini sebenarnya sejalan dengan pemikiran pendiri bangsa Indonesia yang menginginkan kesejahteraan material yang umum dan merata bagi seluruh tumpah darah Indonesia.
                        Dalam tantangannya memang diperlukan kegiatan ekonomi kreatif yang mendukung “dulang pembangunan” dari bawah, wirausaha adalah pekerjaan yang membebaskan seseorang untuk berinovasi dan berkreasi, karena sepandai-pandainya kita kalau dapat atasan yang lemot, lebay, alay, kamseupay tidak akan bisa mengembangkan kreativitas. Wirausaha juga dapat merasakan suasana ekstrem syukur dan ekstrem sabar saat pasang surut penghasilan. Dalam Al-Mughnu Hamlil Asfar, Al-Hafizh Al-‘Iraqi Hadist No.1576 menyebutkan, “Hendaklah kalian berdagang karena berdagang merupakan sembilan dari sepuluh pintu rezeki.”
Dalam bagian ini penulis ingin menyimpulkan bahwa sesungguhnya Islam sebagai agama yang sempurna memberikan penuntun yang lengkap dalam segala bidang termasuk bidang muamalah, kalaupun ada yang mesti berubah adalah hal bersifat teknis dalam praktik sedangkan aspek fikihnya tetap. Semoga kesejahteraan  rakyat Indonesia bisa cepat tercapai!! 

0 komentar:

Posting Komentar