A. Sejarah munculnya uang
Sebelum manusia menemukan uang sebagai alat tukar, ekonomi dilakukan
dengan menggunakan sistem barter, yaitu barang ditukar dengan barang
atau barang dengan jasa. Menurut Syah Wali Allah ad-Dahlawy, (ulama
besar asal India yang hidup pada abad 18 M), pada tahap primitif atau
kehidupan rimba, manusia telah melakukan pertukaran secarabarter dan
melakukan kerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sistem
barter ini merupakan sistem pertama kali dikenal dalam sejarah
perdagangan dunia. Hal ini terjadi jauh sebelum abad VII M (sebelum masa
Nabi Muhammad Saw). Dalam sejarah kuno, binatang ternak pernah menjadi
medium pertukaran yang dominan. Tetapi dalam hal ini timbul masalah
(kendala), karena ternak adalah barang yang tidak awet dan terlalu besar
dijadikan sebagai alat tukar.
Menurut Agustianto dalam buku
Percikan Pemikiran Ekonomi Islam (2004) sistem barter banyak menghadapi
kendala dalam kegiatan perdagangan dan bisnis. Kendala-kendala itu
antara lain, pertama, sulit menemukan orang yang diinginkan. Kedua,
sulit untuk menentukan nilai barang yang akan ditukarkan terhadp barang
yang diinginkan. Ketiga, sulit menemukan orang yang mau menukarkan
barangnya dengan jasa yang dimiliki atau sebaliknya. Keempat, sulit
untuk menemukakan kebutuhan yang akan ditukarkan pada saat yang cepat
sesuai dengan keinginan. Artinya, untuk memperoleh barang yang
diinginkan, memerlukan waktu yang terkadang relatif lama.
Tanpa
mata uang sebagai standar harga dan alat tukar maka proses pemenuhan
kebutuhan manusia menjadi sulit. Dalam ekonomi barter, transaksi terjadi
bila kedua belah pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak
pertama membutuhkan barang yang dimiliki pihak kedua dan begitu
sebaliknya. Misalnya seseorang mempunyai sejumlah gandum, dan
membutuhkan onta yang tidak dimilikinya. Sementara orang lain mempunyai
onta dan membutuhkan gandum. Maka, terjadilah barter. Tetapi dalam hal
ini, berapa banyak gandum yang akan ditukarkan dengan seekor onta,
ukurannya belum jelas, harus ada standar.
Menurut Thahir Abdul
Muhsin Sulaiman dalam buku ‘Ilajul Musykilah Al-Iqtishadiyah bil Islam,
“Dalam mengukur harga barang-barang yang akan dipertukarkan, harus ada
standar (ukuran). Dalam kasus di atas, sulit menentukan berapa banyak
gandum untuk sesekor unta. Demikian pula, halnya kalau ada orang akan
membeli rumah dengan baju, atau budak dengan sepatu, atua tepung dengan
keledai. Proses transaksi barter seperti itu dirasakan amat sulit,
karena tiadanya ukuran yang jelas mengenai harga suatu barang. Bila ini
terjadi terus, maka perekonomian mandeg dan lamban.
Untuk
memudahkan kondisi itu, maka Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai
hakim dan ukuran harga suatu barang. Misalnya, seekor unta sama dengan
seratus dinar, sesekor kambing 20 dinar, segantang gandum 1 dirham, dsb.
Agustianto
menuturkan, untuk mengatasi berbagai kendala dalam transaski barter,
manusia selanjutnya menggunakan alat yang lebih efektif dan efisien.
Alat tukar tersebut ialah uang yang pada awalnya terdiri dari emas
(dinar), perak (dirham). Dengan demikian komoditas berharga seperti
ternak, diganti dengan logam, seperti emas atau perak. Logam mulia ini
mempunyai kelebihan, pertama, logam adalah barang yang awet. Kedua, ia
bisa dipecah menjadi satuaan-satuan yang lebih kecil. Ketiga, uang logam
emas(dinar) dan perak (dirham) senantiasa sesuai dengan antara nilai
intrinsiknya dengan nilai nominalnya. Sehingga ekonomi lebih stabil dan
inflasi bisa terkendali. Hal ini sangat berbeda dengan uang kertas yang
nilai nominalnya tak seimbang dengan nilai intrinsiknya (nilai
materialnya). Sistem ini rawan goncangan krisis dan rawan inflasi (Buku
Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, 2004)
Imam al-Ghazali mengatakan
, bahwa dalam ekonomi barter sekalipun, uang dibutuhkan sebagai ukuran
nilai atau barang. Misalnya unta nilainya 100 dinar dan satu gantang
gandum harganya sekian dirham. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai,
maka uang berfungsi pula sebagai media pertukaran (medium of exchange).
Namun, harus dicatat, bahwa dalam ekonomi Islam, uang tidak dibutuhkan
untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan
menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran barang atau jasa.
Dalam
menjelaskan sejarah munculnya uang (alat tukar), Syah Wali Allah
ad-Dahlawy mengemukakan teori wisdom (kebijaksanaan). Menurutnya, salah
satu kebijaksanaan (wisdom) yang dimiliki manusia, adalah kebijaksanaan
mengenai jual beli timbal balik, (pembeli dan penjualan), memberi
hadiah-hadiah, sewa-menyewa, memberi pinjaman, hutang dan hipotik.
Dengan kebijaksaaan inilah manusia menyadari bahwa pertukaran barang
dengan barang (barter) tidak dapat memenuhi kebutuhannya seketika secara
baik karena barter memerlukan syarat “kecocokan kedua belah pihak pada
saat yang bersamaan” (double coincidence of wants). Oleh karena itu
kemudian diperlukan “sesuatu” yang dapat diterima secara umun sebagai
media petukaran (medium of exchange) yang sekarang disebut uang.
Sesuatu
sebagai medium of exchange ini berkembang dalam berbagai bentuk
(Goldfeld (1990, hal 10) mulai dari tanah hat, kulit, garam, gigi ikan,
logam, sampai berbagai bentuk surat hutang (termasuk uang kertas).
Sesuatu yang disebut uang itu harus dapat diterima masyarakat umum yang
menurut lbn Miskawaih (1030M) harus memenuhi syarat-syarat : (1) tahan
lama (durability), (2) mudah (convenience) dibawa, (3) tidak dapat
dikorup ; (incorruptibility), (4) dikehendaki (desirability), (4)
dikehendaki (desirability) semua orang, dan (5) orang senang melihatnya.
Berdasarkan
rumusan Ibnu Miskawaih tersebut, maka dari berbagai bentuk “uang” yang
disebutkan di atas hanya emas dan peraklah yang memenuhi kelima syarat
uang yang dirumuskannya.
Rasulullah Saw telah menetapkan emas dan
perak sebagai uang. Beliau menjadikan hanya emas dan perak saja sebagai
standar uang. Standar nilai barang dan jasa dikembalikan kepada standar
uang dinar dan dirham ini. Dengan uang emas dan perak inilah semua
bentuk transaksi dilangsungkan. Beliau telah membuat standar uang ini
dalam bentuk uqiyah, dirham, mitsqal dan dinar. Semua ini sudah dikenal
dan sangat masyhur pada masa Nabi saw, di mana masyarakat Arab telah
mempergunakannya sebagai alat tukar dan ukuran nilai dalam transaksi.
Dari
paparan di atas dapat diketahui bahwa, di masa awal Islam, mata uang
yang digunakan adalah dinar dan dirham. Fakta sejarah telah membuktikan
hal ini. Di salah satu museum di Paris, dijumpai koleksi empat mata uang
peninggalan Khilafah Islam. Salah satu diantaranya sampai saat ini,
dianggap satu-satunya di dunia sebagai peniggalan sejarah mata uang.
Mata uang itu dicetak pada masa pemerintahan Ali Ra. Sementara tiga
lainnya adalah mata uang perak yang dicetak di Damaskus dan Merv sekitar
tahun 60-70 Hijriyah..
Di masa khalifah Umar dan Usman,mata uang
telah pula dicetak dengan mengikuti gaya dirham Persia, dengan perubahan
pada tulisan yang tercantum di mata uang tersebut dengan tulisan Arab.
Memang, di awal pemerintahan Umar pernah timbul pemikiran untuk mencetak
uang dari kulit, namun dibatalkan, karena tidak disetujui para sahabat
yang lain, dengan alasan tidak terlalu awet dan intrinsiknya tidak bisa
menyamai emas dan perak.
Mata uang khilafah Islam yang mempunyai
ciri khusus, baru dicetak pada masa pemerintahan Imam Ali r.a. Namun
sayang, peredarannya sangat terbatas, karena kondisi politik ketika itu
amat tidak stabil. Kosentrasi khalifah saat itu lebih terpokus pada
persoalan politik yang kacau seperti perang unta dan perang siffin.
Mata
uang gaya dirham Persia dicetak dengan gambar pedang Irak pada masa
Muawiyah, dan anaknya Ziyad. Mata yang beredar saat itu belum berbentuk
bulat seperti uang logam sekarang ini. Baru pada zaman Ibnu Zubair, mata
uang dengan bentuk bulat ini dicetak, namun peredarannya terbatas di
Hijaz. Sedangkan Mus’ab, Gubernur Kufah mencetak dengan dua macam gaya,
ada gaya Persia dan ada gaya Romawi.
Pada 72-74 H Bishri bin
Marwan mencetak mata uang yang disebut atawiyya. Sampai dengan zaman ini
mata uang khilafah beredar bersama dengan dinar Romawi, dirham Persia
dan sedikit himyarite Yaman. Baru pada zaman Abdul Malik (76 H),
pemerintah mendirikan tempat percetakan uang, antara lain di Dara’bjarb,
Suq Ahwaz, Sus, Jay dan Manadar, Maysan, Ray dan Abarqubadh, dan mata
uang khlifah dicetak secara terorganisasi dengan kontrol pemerintah.
Nilai
uang ditentukan oleh beratnya. Mata uang dinar mengandung emas 22 karat
dan terdiri atas pecahan setengah dinar dan sepertiga dinar. Pecahan
yang kecil didapat dengan memotong mata uang. Imam Ali misalnya, pernah
membeli daging dengan memotong dua karat dari dinar (Hadits Riwayat Abu
Daud). Dirham terdiri dari beberapa pecahan nash (20 dirham), nawat (5
dirham), dan sha’ira 1/60 dirham.
Nilai tukar dinar-dirham relatif
stabil pada jangka waktu yang paling panjang dengan kurs dirham 1:10.
artinya 1 dinar sama dengan 10 dirham. Satu dinar terdiri dari 22 karat,
sedangkan satu dirham terdiri dari 14 karat. Pada masa Umar nilai
dirham menguat, apabila di masa Nabi 1 dirham senilai dengan 10 dirham,
maka di masa Umar bin Khattab, 10 dinar senilai dengan 7 dirham.
Reformasi
moneter pernah dilakukan oleh Abdul Malik, yaitu dirham diubah menjadi
15 karat (bukan lagi 14 karat) dan pada saat yang sama, satu dinar
dikurangi berat emasnya dari 4,55 gram menjadi 4,25 gram. Di zaman Ibnu
Faqih (289 H), nilai dinar menguat menjadi 1;17, namun kemudian stabil
pada kurs 1:15.
Setelah reformasi moneter Abdul Malik, maka
ukuran-ukuran nilai adalah sebagai berikut : satu dinar 4,25 gram, satu
dirham, 3,98 gram, satu uqiyya setara 90 mitsqal, satu qist 8 ritl
(liter), setara setengah sha’, satu qafiz 6 sha’ setara ¼ artaba, satu
wasq 60 sha’, satu jarib 4 qafiz.
Sungguh mengejutkan ternyata
seribu tahun kemudian kurs 1:15 ini juga berlaku di Amerika Serikat
1792-1834 m. Berbeda dengan langkah reformasi moneter yang diambil Abdul
malik, Amerika tetap mempertahankan kurs ini walaupun di negara-negara
erofa nilai mata uang emas menguat pada kisaran kurs 1:15,5 sampai
1:16,6. wal hasil, mata uang emas mengalir keluar dan mata uang biasa
mengalir masuk Amerika. Kejadian drives out bad money atau uang kualitas
buruk akan menggantikan uang kualitas baik.
Lima ratus tahun
sebelumya (1263-1328 M), ulama Islam Ibnu Taymiyah yang hidup di zaman
pemerintahan Mamluk telah mengalami situasi di mana mata uang telah
beredar dalam jumlah besar dengan nilai kandungan logam mulia yang
berlainan satu sama lain.
Pada saat itu beredar tiga jenis uang :
dinar (emas), dirham, (perak) dan fulus (tembaga). Peredaran dinar
sangat kadang mengilang, sedangkan yang beredar luas adalah fulus.
Fenomena inilah yang dirumuskan Ibnu Taymiyah bahwa uang dengan kualitas
rendah (fulus) akan menendang uang keluar kualitas baik (dinar, dan
dirham).
Di zaman Ibnu Taymiyah hidup, pemerintahan Mamluk
ditandai dengan tidak stabilnya hidup. Pemerintahan Mamluk ditandai
dengan tidak stabilnya sistem moneter, karena banyaknya fulus yang
beredar atau meningkatnya jumlah tembaga dalam mata uang menggantikan
dirham. Hal serupa juga terjadi di zaman modern ini. Kerusakan sistem
moneter modern telah menimbulkan krisis di banyak negara dan infalsi
yang menggila. Kerusakan sistem moneter itu terletak pada penggunaan
uang kertas yang melampaui batas. Uang kertas dicetak sebanyak-banyaknya
tanpa memiliki batasan atau standar cadangan emas yang dimiliki. Karena
itu, semenjak standar emas dihapuskan tahun 1971 oleh Richard Nixon,
berbagai negara berulang kali mengalami krisis, termasuk Indonesia.
Sistem
uang kertas yang baru berlangsung sekitar 300 tahun, telah terbukti
menimbulkan banyak bencana di berbagai negara. Sedangkan mata uang dinar
dan dirham yang telah berlangsung lebih dari 3000 tahun terbukti dalam
sejarah tidak menimbulkan bencana krisis moneter, sebab nilai nominalnya
dan kondisi ini tidak mengundang spekulasi dengan margin trading,
seperti sekarang ini.
Untuk kembali kepada penggunan uang emas dan
perak, merupakan sesuatu yang amat sulit. Hal ini disebabkan
terbatasnya jumlah cadangan emas dan perak. Akibatnya, kebutuhan
transaksi dalam perekonomian yang cepat berakselerasi, tidak sebanding
dengan cadangan emas yang tersedia. Petumbuhan aktivitas ekonomi yang
semakin banyak dan sangat beragam. Jelas tidak mungkin dapat diimbangi
dengan sejumlah produksi emas yang dapat dihasilkan oleh tambang-tambang
di seluruh dunia. Kondisi inilah yang membuat percetakan uang kertas
tidak lagi perlu dijamin oleh cadangan emas atau logam mulia.
Realitas
ini, selanjutnya mengundang terjadinya bisnis spekulasi mata uang yang
disebut dengan transaksi maya. Uang telah dijadikan sebagai komoditas
yang diperdagangkan, bukan untuk kebutuhan sektor riel. Padahal, dalam
konsep ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadikan sebagai komoditas,
karena itu ekonomi Islam dengan tegas melarang spekulasi mata uang.
B. Fungsi Uang Menurut Syariah Islam
Dari
uraian di atas terlihat bahwa menurut ekonomi Islam, uang di pandang
sebagai alat tukar, bukan suatu komoditas. Selain sebagai alat tukar,
uang juga berfungsi sebagai pengukur harga (standar nilai), hal ini
sesuai denbgan definsi uang yang dirumuskan Taqyuddin An-Nabhani, dalam
buku An-Nizham Al-Iqtishadi Al-Islami. Menurutnya uang adalah standar
nilai pada barang dan jasa. Oleh karena itu, dalam ekonomi Islam, uang
di defenisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur harga
setiap barang dan jasa.
Diterimanya peranan uang ini, secara luas,
dengan maksud untuk mempermudah proses transaksi, sebagai alat ukur dan
menghapuskan ketidakadilan dan kezaliman dalam ekonomi tukar-menukar.
Karena ketidakadilan dalam ekonomi barter, digolongkan sebagai riba
fadhal. Barter adalah sebuah metode pertukaran yang tidak praktis dan
umumnya menunjukkaan banyak kepicikan dalam mekanisme pasar. Jadi,
dibutuhkan sebuah sistem penukaran tepat guna yang praktis, yakni uang.
Kemudian,
karena majunya peradaban, uang dikembangkan sebagai ukuran nilai dan
alat tukar. Nabi Muhammad saw menyetujui penggunaan uang sebagai alat
tukar. Beliau tidak menganjurkan barter, karena ada beberapa praktek
yang membawa kepada ketidakadilan dan penindasan. Barter hanya diterima
dalam kasus terbatas. Nabi menasehatkan agar menjual sebuah produk
dengan uang, dan membeli produk yang lain dengan harganya
Dengan
demikian, ajaran Islam sangat mendukung tungsi uang sebagai media
petukaran (medium of exchange) karena banyak hadis-hadis Rasulullah yang
tidak menganjurkan barter tetapi sangat menganjurkan terjadinya
transaksi jual beli antara uang dihadapkan dengan barang dan jasa.
Contoh hadis yang secara gamblang dijumpai pada Hadis Shaih Muslim,
sebagai berikut :
حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ : جَاءَ بِلَالٌ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ هَذَا فَقَالَ بِلَالٌ
تَمْرٌ كَانَ عِنْدَنَا رَدِيءٌ فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ
لِمَطْعَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا لَا تَفْعَلْ وَلَكِنْ
إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ
اشْتَرِ بِهِ *
Dari Abu Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika,
Bilal datang kepada Rasulullah saw membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah
SAW bertanya kepadanya, “Kurma dari mana ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita
rendah mutunya. Karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang
kurma ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka bersabda Rasulullah SAW, lnilah
yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila
engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang
kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang
lebih bagus.”
Hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar,
Abu Said dan Abu Hurairah, Abu Said Al Kudri menegaskan anjuran jual
beli dari pada barter : “Ternyata Rasulullah SAW, tidak menyetujui
transaksi-transaksi dengan system barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya
menggunakan uang. Nampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti
itu karena ada unsur riba didalamnya”.
Peranan uang sebagai alat
tukar dan alat ukur juga tampak dari hadits Nabi Saw, yaitu ketika
beliau mewajibkan zakat atas aset moneter (emas dan perak). secara tidak
langsung Nabi mengatakan, bahwa uang sebagai faktor produksi mempunyai
potensi untuk berkembang melalui usaha-usaha produktif yang riil.
Apabila
uang diterima sebagai pilar produksi, maka ketentuan pengambilan
manfa’at keuntungan (hasil), tidak boleh ditentukan di awal tanpa
melihat hasil realisasi produksi tersebut. Penetapan porsi keuntungan di
awal adalah riba dan bersifat tidak adil. Karena itu Islam
menkonsepsikan bagi hasil dalam dunia bisnis.
Islam juga telah
mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum syariah, seperti dalam
jinayat (pidana). Ketika Islam mewajibkan diyat, Islam telah menentukan
diyat tersebut dengan ukuran tertentu dalam bentuk emas.
Rasulullah
pernah menyatakan di dalam surat beliau yang dikirimkan kepada penduduk
yaman ; Bahwa di dalam pembunuhan jiwa itu terdapat diyat berupa 100
ekor unta, dan terhadap pemilik emas (ada kewajiban) sebanyak 1000
dinar. (HR. Nasai dan Amri bin Hazam).
Ketika Islam mewajibkan
hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian, Islam juga menentukan
ukuran tertentu dalam bentuk emas, yaitu seperempat dinar. ). Sabda
Rasulullah Saw “Tangan itu wajib dipotong apabila mencuri ¼ dinar atau
lebih” (H.R. Bukhari dari Aisyah).
Ketentuan hukum di atas
menunjukkan bahwa dinar, dirham dan mitsqal merupakan satuan uang yang
digunakan untuk mengukur (menghitung) nilai barang dan jasa. Jadi,
satuan dinar dan dirham inilah yang menjadi uang yang berfungsi sebagai
ukuran harga barang dan sekaligus sebagai alat tukar.
Tujuh ratus
tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nation, seorang
Islam bernama al-Ghazali (w.1111 M), telah membahas fungsi uang dalam
perekonomian.
Secara panjang lebar, ia membahas fungsi uang dalam
bab “syukur” pada kitab Ihya Ulumuddin. Dalam Bab itu ia mengatakan, “Di
antara ni’mat Allah ialah berlakunya dinar dan dirham. Dengan dinar dan
dirham itu, kehidupan dunia bisa diatur, padahal keduanya tak lebih
dari logam, yakni barang yang pada asalnya tidak berguna apa-apa. Tetapi
semua orang tertarik pada kedua mata uang itu, sebab setiap orang
membutuhkan bermacam-macam barang untuk makan, pakaian dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya”.
Uraian-uraian Al-Gahzali berikutnya,
tentang konsep-konsep ekonomi Islam, sungguh menakjubkan. Tapi sayang,
banyak di antara umat Islam yang mengutip dan menelaah aspek tasawufnya,
tanpa mengkaji secara utuh isi kitab itu, sehingga wacana ekonomi Islam
terabaikan.
Pemikiran Al-Ghazali yang juga cukup menakjubkan
tentang fungsi uang adalah teorinya yang menyatakan bahwa uang
diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat
merefleksikan semua warna. (Ihya, 4 : 91-93). Maksudnya, uang tidak
memiliki harga (intrinsik) tetapi dapat dapat merefleksikan semua harga.
Atau dalam istilah ekonomi klasik dikatakan, uang tidak memberi
kegunaan langsung (direct utility function). Hanya bila uang itu
digunakan untuk membeli barang, barulah barang itu memiliki kegunaan.
Dalam
teori ekonomi klasik dikatakan, kegunaan uang timbul dari daya belinya.
Jadi uang memberikan kegunaan tidak langsung (indirect utility
function). Apapun debat para ekonom Barat tentang konvensi ini,
kesimpulannya tetap sama dengan al-Ghazali, uang tidak dibutuhkan untuk
uang itu sendiri.
Merujuk pada Al-Qur’an, al-Ghazali
mengecam orang yang menimbun uang. Orang demikian, dikatakannya sebagai
penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang yang melebur dinar dan
dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai
orang yang bersyukur kepada sang pencipta Allah Swt, dan kedudukannya
lebih rendah dari orang yang menimbun uang. Menimbun uang berarti
menarik uang secara sementara dari peredaran. Sedangkan meleburnya
berarti menariknya dari peredaran untuk selamanya.
Dalam teori
moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang.
Ini berarti memperkecil terjadinya transaksi sehingga perekonomian lesu.
Adapun peleburan uang, sama saja artinya dengan mengurangi jumlah
penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
Dalam
ekonomi Islam sebagaimana dijelaskan al-Ghazali, fungsi uang adalah
sebagai media pertukaran dan standar harga barang. Siapa yang
menggunakan uang tidak sesuai dengan fungsinya, bererti dia telah kufur
nikmat dalam penggunaan uang. Menimbun uang merupakan tindakan tercela
dalam perspektif ekonomi Islam, karena ia telah memenjarakan uang dan
mencegah fungsi sebenarnya. Kata al-Ghazali, penimbunan uang persis
seperti orang yang memenjarakan hakim kaum muslimin, sehingga kelancaran
perasidangan hukum terhambat. Kalau uang itu disimpan saja, maka
hikmat-hikmatnya pun akan hilang dan tujuan dari adanya uang itu tidak
terwujud.
Dinar dan dirham dalam ekonomi Islam, bukan
dikhususkan untuk individu-individu tertentu, tetapi dinar dan dirham
diciptakan supaya beredar di antara manusia, lalu menjadi hakim di
antara mereka, menjadi standar harga dan alat tukar.
Pilihan
kepada uang emas sebagal alat tukar yang mempunyai nilai melekat pada
zatnya (nilai intrinsik) sama dengan nilai rielnya, nyatanya berlaku di
seluruh dunia selama berabad-abad lamanya.
Fungsi uang sebagai
satuan nilai (unit of account), di mana uang berfungsi sebagai standar
alat ukur atas suatu barang dan jasa menimbulkan konsequensi uang
menjadi mempunyai daya beli. Uang Dinar emas dan Dirham perak akan tetap
mempunyai daya beli apabila uang-uang tersebut masih tetap dalam
standar kualitasnya. Kualifikasi Dinar dan Dirham klasik sesuai hukum
Islam yang dibakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab adalah mas 22 karat
seberat 4,25 gram dengan diameter 23 mm dan perak murni seberat 3 gram
dengan diameter 25 mm. Sedang nisabnya masing-masing adalah 1 untuk
Dinar berbanding 10 untuk Dirham. Untuk saat sekarang ini standarisasi
Dinar dan Dirham dilakukan oleh World Islamic Trade Organization (WITO)
Dalam
ekonomi Islam, peredaran uang palsu sangat dikecam. Pada zaman klasik
Islam, khususnya masa al-Ghazali, uang palsu dipandang sebagai uang yang
kandungan emas/peraknya tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh
pemerintah. al-Ghazali mengatakan, mencetak atau mengedarkan uang
sejenis ini lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Karena
mencuri adalah satu dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu
dosanya akan terus menerus berulang setiap kali uang itu dipergunakan,
dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu lama.
Begitulah cerdasnya al-Ghazali, jauh sebelum ekonom Barat tampil, dia
sudah memiliki pemikiran yang cemerlang tentang fungsi uang, penimbunan
uang, dan implikasi uang palsu.
Selanjutnya, al-Ghazali membahas
konsep ekonomi Islam tentang jenis mata uang. Beliau membolehkan
peredaran mata uang yang sama sekali tidak mengandung emas dan perak,
asalkan pemerintah menyatakan sebagai alat bayar resmi (Ihya, 4:192).
Tentang Drs. Agustianto, M.Ag
Pendidikan
Program Doktor (S3) Ekonomi Islam UIN Jakarta 2004 adalah Sekjend DPP
Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Anggota Pleno Dewan... Selengkapnya.
0 komentar:
Posting Komentar