KEBIJAKAN FISKAL
Prinsip Islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan
untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi
kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual
pada tingkat yang sama. Mungkin, dari semua kitab agama masa dahulu,
Al-Quran-lah satu-satunya kitab yang meletakkan perintah yang tepat
tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan. Negara Islam
adalah suatu negara ideologi yang sebagai suatu mekanisme untuk
melaksanakan hukum-hukum Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, kebijakan
fiskal dalam suatu negara Islam harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip
hukum dan nila-nilai Islam.
Tujuan pokok agama Islam adalah untuk mencapai kesejahteraan umat
manusia. Kesejahteraan umat manusia ini dapat dicapai bila seluruh
sistem hukum dan ekonomi tidak membicarakan kebijakan fiskal saja, dan
hal ini sesuai dengan Sifat-Sifat Ilahi: Maha Pemberi Rezeki, Maha
Pemurah, dan Maha Pengasih. Sehingga, kegiatan-kegiatan yang menambah
pengeluaran dan menarik penghasilan negara harus digunakan untuk
mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu dalam kerangka umum hukum
Islam seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Pendapatan utama bagi negara di masa Rasulullah SAW adalah zakat dan
ushr. Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti
pajak. Seperti tercantum dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 60.
Pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran
umum negara. Lebih jauh, zakat secara fundamental adalah pajak lokal.
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, ketika Rasulullah SAW
berkata pada Muadz ketika beliau mengirim nya ke Yaman sebagai pengumpul
dan pemberi zakat, “… katakanlah kepada mereka (penduduk Yaman) bahwa
Allah telah mewajibkan mereka untuk membayar zakat yang akan diambil
dari orang kaya diantara mereka dan memberikannya kepada orang miskin
diantara mereka”. Dengan demikian, pemerintah pusat berhak menerima
keuntungan hanya bila terjadi surplus yang tidak dapat didistribusikan
lagi kepada orang-orang yang berhak, dan ditambah kekayaan yang
dikumpulkan di Madinah, ibukota negara.
Sumber-sumber pendapatan lainnya adalah:
1. Uang tebusan untuk tawanan perang, hanya dalam kasus Perang
Badar. Pada perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan
perang.
2. Pinjaman-pinjaman setelah menaklukkan kota Mekkah untuk pembayaran
uang pembebasan kaum muslimin dari Judhayma, atau sebelum pertempuran
Hawazin 30.000 dirham (20.000 dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin
Rabia dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari
Sufyan bin Umaiyah.
3. Khumus atau rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam.
4. Amwal fadhla, berasal dari harta benda kaum muslimin yang meningga
tanpa ahli waris atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang
meninggalkan negerinya.
5. Wakaf, harta benda yang diindikasikan kepada umat Islam yang
disebabkan Allah dan pendapatannya akan didepositokan di Baitul Maal.
6. Nawaib, pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum
muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa
darurat (pernah terjadi pada masa Perang Tabuk).
7. Zakat Fitrah, zakat yang ditarik di masa bulan Ramadhan dan dibagi sebelum Sholat Ied.
8. Bentuk lain shadaqah seperti kurban dan kaffarat. Kaffarat adalah
denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada acara
keagamaan.
Tidak disebutkannya kadar zakat yang dikenakan pada berbagai barang
milik kaum muslimi dalam Al-Qur’an dapat ditafsirkan sebagai besarnya
elastisitas sistem keuangan negara dan perpajakan Islami. Karena kondisi
sosio ekonomi telah berubah secara fundamental, maka tidak ada alasan
untuk percaya bahwa unsur yang dipajak dan kadar yang dikenakan tidak
dapat berubah dengan berubahnya keadaan, sebab dalam Islam pintu ijtihad
tidak pernah tertutup.
Dalam negara Islam, dasar anggaran bukan semata-mata penerimaan yang
akan menentukan pengeluaran. Pengeluaranlah ayang harus menjadi dasar
utama untuk mengerahkan penghasilan. Hal ini berdasarkan persyaratan
Islam bahwa suatu negara harus menyediakan kebutuhan minimum pokok bagi
semua warganya. Karena itu bila penghasilan zakat memenuhi persediaan
pokok bagi si miskin, selalu terdapat kemungkinan lain untuk perpajakan
tambahan di luar zakat, asal saja digunakan dengan cara yang bijaksana.
Oleh karena itu, dalam suatu ekonomi Islam pembiayaaan defisit dapat
dilakukan. Hal ini dapat diatur melalui perjanjian mudharabah,
musyarakah, dan murabahah. Di samping itu, suatu pemerintahan Islam
juga dapat menghimpun dana dengan mengeluarkan obligasi dan sertifikat
investasi kepada umu atas dasar pembagian laba dan rugi.
KONSEP DAN FUNGSI UANG
1. KONSEP UANG
Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep ekonomi konvensional. Menurut ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital. Sementara itu, dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak jelas. Misalnya, dalam buku Money, Interest, and Capital (1989) oleh Colin Rogers, uang diartikan bertukaran (interchangeability), sebagai uang atau sebagai capital. Ketidak jelasan dalam konsep ini bisa menimbulkan kekacauan.
Perbedaan lainnya, menurut konsep ekonomi Islam, uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept, sedangkan capital bersifat stock concept. Dalam ekonomi konvensional, terdapat beberapa pengertian. Frederick Mishkin dalam bukunya Economics of Money, Banking, and Financial Institution, mengungkapkan konsep Irving Fisher:
MV = PT,
dimana M adalah jumlah uang, V adalah tingkat perputaran uang, P
adalah tingkat harga barang, dan T adalah jumlah barang yang
diperdagangkan. Persamaan tersebut menunjukkan semakin cepat perputaran
uang, semakin besar pendapatan. Menegaskan pula bahwa uang adalah flow concept. Fisher mengatakan bahwa, sama sekali tidak ada korelasi antara kebutuhan memegang uang (demand for holding money) dengan tingkat suku bunga.
Dalam buku Mishkin juga diungkapkan konsep Marshall-Pigou dari Cambridge:
M = kPT,
dimana M adalah jumlah uang, k adalah 1/V, P adalah tingkat harga
barang, dan T adalah jumlah barang yang diperdagangkan. Walaupun secara
matematis k dapat dipindahkan ke kiri atau ke kanan, secara filosofi konsep ini berbeda. Huruf k pada persamaan ini menyatakan bahwa demand for holding money adalah suatu proporsi (k) jumlah pendapatan (PT). semakin besar k, semakin besar demand for holding money (M) untuk tingkat pendapatan tertentu (PT). Ini berati uang adalah stock concept, yang dalam konteks ini, dapat menjadi alat untuk menyimpan kekayaan (store of wealth).
Namun demikian, kita tidak boleh menyederhanakan masalah dengan mengatakan Islam memandang uang sebagai flow concept dan ekonomi konvensional memandang uang sebagai stock concept.
Karena, dalam ekonomi konvensional terdapat pertentangan pengertian
antara kelompok Friedman dan kaum monetaris di satu kubu dengan kaum
Keynesian dan Cambridge Shool di kubu lain
Menurut konsep ekonomi Islam, capital is private goods, sedangkan money is public goods. Uang yang mengalir adalah public goods (flow concept), sedangkan yang mengendap sebagai milik seseorang (stock concept) adalah milik pribadi (private goods).
Dengan demikian, jika dan hanya jika uang diinvestasikan dalam proses
produksi, kita akan memperoleh keuntungan. Sedangkan dalam konsep
ekonomi konvensional, mereka tetap menginginkan keuntungan tanpa
memperdulikan apakah uang itu diinvestasikan pada proses produksi atau
tidak.
2. FUNGSI UANG
Fungsi uang berbeda antara sistem ekonomi konvensional dan sistem
ekonomi Islam. Dalam ekonomi konvensional, dikenal 3 fungsi uang, yaitu:
alat pertukaran (medium of exchange), satuan nilai (unit of account), dan penyimpan nilai (store of value).
Dalam ekonomi Islam hanya mengenal uang dalam fungsinya sebagai alat pertukaran (medium of exchange), yaitu media untuk mengubah barang dari satu bentuk kepada bentuk lain. Fungsi lainnya adalah sebagai satuan nilai (unit of account).
Teori konvensional juga memasukkan alat penyimpan nilai (store of value) sebagai salah satu fungsi uang, termasuk motif money demand for speculation.
Tapi, hal ini tidak boleh dalam Islam, Islam hanya memperbolehakan uang
untuk bertransaksi dan berjaga-jaga. Sama sekali menolak untuk
spekulasi.
TIME VALUE OF MONEY Vs ECONOMIC VALUE OF TIME
Teori keuangan konvensional mendasarkan argumen bunganya dengan konsep time value of money.
Teori ini merupakan kekeliruan, karena diambil dari ilmu teori
pertumbuhan penduduk (populasi), bukan dari ilmu keuangan. Hal ini
keliru, karena uang bukan makhluk hidup yang dapat berkembang dengan
sendirinya. Validitas teori ini akan dibantah dengan konsep yang lebih
tepat, yaitu economic value of time.
Namun demikian, walaupun konsep time value of money ini
dibantah, bukan berarti perangkat matematis yang digunakan oleh konsep
tersebut tidak dapat dipakai lagi. Rumus-rumus matematik yang digunakan
dalam teori keuangan konvensional juga dapat digunakan dalam keuangan
syariah, misalnya untuk menentukan tingkat keuntungan yang diminta oleh
bank syariah. Halal-haramnya suatu transaksi tidak tergantung pada rumus
matematik apa yang dipakai, karena sesungguhnya matematik hanyalah
sekedar alat saja. Suatu yang halal tetap halal, baik bila diukur dengan
metode prosentase ataupun tidak.
Kuantitas waktu sama bagi semua orang. Namun nilai dari waktu akan
berbeda dari satu orang ke orang lainnya. Faktor yang menentukan nilai
dari waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin
efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi
waktunya. Efektif dan akan mendatangkan keuntungan di dunia bagi siapa
saja yang melaksanakannya. Oleh karena itu, siapapun pelakunya, secara
sunnatullah akan mendapat keuntungan di dunia.
Dalam Islam, keuntungan yang dicari bukan saja keuntungan di dunia,
tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu bukan saja
harus efektif dan efisien, tapi juga harus didasari dengan keimanan.
Dalam ekonomi konvensional time value of money didefinisikan sebagai berikut: a dollar today is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return. Definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapat positive, negative, atau no return. Itu sebabnya dalam teori finance, selalu disebut risk-return relationship.
Menurut ekonom konvensional, ada dua hal yang mendasari konsep time value of money, yakni: presence of inflation dan preference present consumption to future consumption.
Alasan pertama tidak dapat diterima karena tidak lengkap kondisinya.
Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan keadaan
deflasi. Bila keberadaan inflasi menjadi alasan adanya time value of money, maka deflasi menjadi alasan adanya negative time value of money. Tapi, hanya satu kondisi saja yang diakomodir oleh konsep time value of money, yaitu pada kondisi inflasi dan mengabaikan kondisi deflasi.
Ekonomi syariah menolak keadaan yang disebut al ghunmu bi la ghurmi (gaining return without responsible for any risk) dan al-kharaj bi la dhaman (gaining income without responsible for any expenses). Keadaan yang juga ditolak oleh teori ilmu keuangan berdasarkan prinsip return goes along with risk.
KEBIJAKAN MONETER
Sistem moneter, sepanjang zaman, mengalami banyak perkembangan.
Sistem keuangan inilah yang banyak dijadikan bahan studi empiris maupun
historis dibandingkan disiplin ilmu ekonomi lainnya. Pada zaman
Rasulullah sistem ini menggunakan bimetallic standard, dengan
emas dan perak (dalam bentuk dinar dan dirham) sebagai alat pemabayaran
yang sah. Nilai tukar emas dan perak, pada masa ini relatif stabil
dengan nilai kurs dinar-dirham 1:10. namun demikian, stabilitas nilai
kurs pernah terganggu karena disekuilibrium antara persediaan dan
penawaran.
Instabilitas dalam nilai tukar uang ini mengakibatkan terjadinya bad coins to drive good coins out of circulations
atau uang buruk menggantikan uang berkualitas baik. Dalam literature
konvensional, peristiwa yang disebut hukum Gresham ini pernah terjadi
pada masa pemerintahan Bani Mamluk (1263-1328 M). Saat itu, uang logam
dari jenis fulus (tembaga) mendesak keberadaan uang logam emas dan
perak. Peristiwa ini disebabkan menghilangnya uang dinar (emas) dan
dirham (perak) dari peredaran karena perbedaan nilai kurs dengan daerah
lain. Misalnya, kurs di wilayah pemerintahan Mamluk adalah 1:20
sedangkan di daerah lain 1:25. Sehingga, uang yang beredar di wilayah
Mamluk dilarikan ke daerah itu. Oleh Ibnu Taimiyah, kondisi ini
digambarkan sebagai uang berkualitas rendah menendang keluar uang
berkualitas baik.
Perkembangan emas sebagai standar peredaran uang mengalami tiga kali evolusi, yaitu: the gold coin standard, the gold bullion standard, dan the gold exchange standard.
Dalam Al-Qur’an maupun Sunnah tidak ditemukan secara spesifik
keharusan menggunakan dinar dan dirham sebagai standar nilai tukar uang (full-bodied monometallic standard).
Beberapa fuqaha terkemuka seperti Ahmad bin Hanbal, Ibn Hazm, dan Ibnu
Taimiyah pun mendukung keberadaan uang fidusia. Menurut mereka, tidak
ada keharusan memakai emas dan perak sebagai alat pemabyar walaupun pada
masa itu keberadaan full-bodied money sangat lazim. Dalam
konteks sejarah, Khalifah Umar bin Khattab juga pernah mencoba
memperkenalkan uang dari jenis kulit binatang.
Meskipun membolehkan uang fidusia, Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa
penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dan emas
dari peredaran sesuai hukum Gresham. Sementara itu, Imam Al Ghazali
memperbolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas atau
perak selama pemerintah mampu menjaga nilainya.
Para fuqaha bersepakat bahwa hanya otoritas yang berkuasa yang berhak
mengeluarkan uang. Dalam hal ini, Al Ghazali mensyaratkan agar
pemerintah harus mengeluarkan pernyataan bahwa uang fidusia yang dicetak
adalah alat pembayaran yang resmi. Seiring dengannya, pemerintah wajib
menjaga nilanya dengan mengatur jumlah uang beredar sesuai dengan
kebutuhan dan memastikan tidak ada perdagangan uang.
Pada dasarnya, kebutuhan manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu pelu serta mendesak dan tidak perlu serta kurang bermanfaat.
Komponen pertama dapat dimasukkan sebagai permintaan akan uang untuk
pemenuhan kebutuhan dan investasi produktif, sedang jenis kedua meliputi
konsumsi yang berlebihan (conspicuous consumption), investasi yang tidak produktif, dan investasi untuk spekulasi.
Para ekonom muslim mengandalkan tiga variabel penting dalam manajemen
permintaan uang, yaitu: nilai-nilai moral, lembaga-lembaga
sosial-ekonomi dan politik, termasuk mekanisme harga, dan tingkat
keuntungan riil sebagai pengganti keberadaan suku bunga.
Dasar pemikiran manajemen moneter dalam konsep Islam adalah
terciptanya stabilitas permintaan akan uang dan terarahnya permintaan
akan uang kepada tujuan yang penting dan produktif. Dengan demikian,
setiap instrumen yang mengarah kepada instabilitas dan pengalokasian
sumber dana secara tidak produktif akan ditinggalkan.
Penghapusan suku bunga, penetapan kewajiban pembayaran pajak atas
biaya produktif yang menganggur, serta penghilangan insentif bagi
pemegang uang idle mendorong orang melakukan: qard (meminjamkan harta
kepada orang lain), penjualan muajjal, dan mudharabah.
Pertumbuhan moneter dalam sistem ekonomi Islam tidaklah independen
terhadap perubahan-perubahan di sektor riil, tetapi keduannya saling
berintegrasi. Sektor riil menentukan level keseimbangan di sector
moneter, namun tidak berarti pergerakan sektor riil disebabkan oleh
sektor moneter. Kebijakan moneter untuk menstimulus sektor riil hanya
akan menimbulkan khayalan uang (money illusion) yang berdampak
sementara pada sektor riil, dan untuk jangka panjang, sektor riil akan
kembali kepada keseimbangan awal. Oleh karena itu, tidak ada satupun
dari ketiga mahdzab ekonomi Islam yang menjadikan sektor moneter
sebagai variabel bebas.
(Wallahu ‘alam bi showab).
Referensi :
Manan, Muhammad Abdul. Teori dan Praktik Ekonomi Islam. (edisi terjemahan).Yogyakarta : PT. Dana Bakti Wakaf.1993.
Karim, Adiwarman. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. Edisi Dua. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa.
____________.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : The International Institute of Islamic Thought.2002.
____________Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro. Edisi Satu. Jakarta : The International Institute of Islamic Thought.2002.
0 komentar:
Posting Komentar