Ibu..
Kata yang terdengar asing bagiku. Setidaknya dalam setahun terakhir ini. Setiap kali mendengar kata itu, hanya luka yang menggores hatiku semakin dalam dan menganga.
Ya, panggilan itu hilang dalam hari-hariku semenjak kejadian itu. Kejadian yang bahkan tak ingin kuingat. Kejadian yang membuat hari-hariku kelam dan suram. Kejadian yang membuat hidupku berubah.
Saat ini pikiranku dipenuhi tanda tanya,
mengapa hal itu terjadi padaku? mengapa harus saat itu? dan mengapa harus dia..?
singkat kata aku sangat marah, marah pada ketetapan-Nya.
Kejadiannya setahun yang lalu menjelang hari ulang tahunku. Aku baru menginjak masa-masa remaja. Masa yang begitu indah. Aku dikaruniai ibu yang luar biasa menyayangiku. Hari-hariku dipenuhi canda tawa dengannya. Sampai suatu hari, sehari sebelum ulang tahunku yang ke 14. Ibuku masuk rumah sakit. Aku tidak pernah menduga sebelumya ibuku akan sakit, karna memang semua terlihat baik-baik saja dan ibuku terlihat sehat-sehat saja. Saat itu ibuku berkata,
“ibu baik-baik saja, kamu doakan ibu ya nak, biar cepat keluar dari rumah sakit”
Aku lega mendengarnya. Aku terbiasa mempercayai kata-kata ibuku. Dia sama sekali tak pernah berbohong padaku. Aku sangat percaya ibuku tidak apa-apa, mungkin hanya kecapekan karena rutinitas sehari-hari, pikirku waktu itu.
“ ibu tau kan besok hari apa?” tanyaku.
“ hmm besok tanggal 21 desember, hari rabu, kenapa dengan hari itu ?”, ibuku pura-pura tidak tau.
“ aaah, ibu jahat.”
“ iya iya, ibu tau nak, itu hari ulang tahunmu kan. Mau kado apa ?”.
“ hmm, aku ingin ibu sehat lagi dan keluar dari rumah sakit, itu kado yang sangat kuinginkan saat ini, bu, ” kutatap matanya.
“kamu anak yang baik” ibuku tersenyum.
Dia lalu memelukku hangat.
“ boleh ibu minta sesuatu..”
“ sangat boleh” jawabku cepat.
“ rambutmu bagus, lebih bagus lagi kalau ditutup jilbab seperti ibu. Biar jadi anak yang shalehah”. Ibuku berkata sambil penuh harap.
“ oke oke”. Jawabku enteng.
Selanjutnya aku meninggalkan kamar rumah sakit itu untuk mencari makanan kecil. Perutku keroncongan. Dari siang aku tidak makan sedikitpun. Waktu menunjukkan pukul sembillan malam, aku pergi membeli beberapa roti dan satu botol air mineral. Cukup mengganjal perutku. Setelah itu aku kembali kekamar ibuku. Kulihat ibuku sudah tertidur pulas. Aku duduk sambil memakan roti disamping tempat tidur ibuku. Aku mengantuk lalu tertidur juga.
Aku terbangun pukul 6 pagi. Aku belum shalat shubuh. Ketika aku beranjak dari kursiku. Aku melihat ibuku sekilas. Dia masih tertidur pulas. Aku jadi enggan membangunkannya.
Aku lalu shalat shubuh dimusholla rumah sakit. Selesai shalat aku berdoa untuk kesembuhan ibuku juga berdoa untuk umurku yang telah bertambah hari itu. Setelah itu aku kembali kekamar ibuku. Aku melihat wajah ibuku pucat tapi dia masih tertidur pulas. Aku lalu berinisiatif membangunkannya. Tapi ketika aku menyentuh pipinya. Wajahnya terasa dingin. Kusentuh kakinya sama saja, terasa dingin. Aku panik sekali. Apakah ibuku kedinginan ?? padahal semalam tidak hujan dan aku merasa ibuku tetap hangat semalam karena kuselimuti dengan selimut yang tebal.
Aku keluar memanggil suster, dan sesaat kemudian dokter juga datang kekamar ibuku. Dia lalu memeriksa kondisi ibuku yang aneh.
“ Innalillahi...” . dokter itu berbisik.
Jangan kira aku tidak mendengarnya, Sangat jelas terdengar ditelingaku.
“ Dokter bilang apa tadi ? tolong jangan bercanda, dok.”. Aku sedikit berteriak.
Aku ingin jawaban dokter kali ini bisa melegakanku. Aku ingin dari mulut dokter itu keluar kalimat, “ Semuanya baik-baik saja.” Tapi keinginanku itu hanya angan-angan ketika kudengar doter berujar sekali lagi,
“ ibumu meninggal nak..”
Kalimat itu, kalimat yang paling tidak ingin kudengar dihidupku. Pikiranku menjadi kosong. Aku berusaha mencerna maksud kalimat dokter itu dengan baik, namun tetap sulit kupercaya. Selanjutnya, aku tidak ingat apa-apa lagi. Ketika aku terbangun, aku sudah berbaring dikamarku, dirumahku, yang saat itu menjadi “rumah duka”.
***
kejadian setahun yang lalu masih begitu jelas diingatanku, tanpa terpenggal sedikitpun.
huh.. ternyata begitu kado yang kudapat di hari ulang tahunku. Kado terburuk yang pernah kudapat.
“ ibu.. ingatkah kau berjanji padaku akan sembuh, akan sehat lagi, dan kita bisa bercanda tertawa bersama lagi ?”
“Dan jangan salahkan aku, bila aku marah pada-Nya..
Dia telah mengambil engkau dariku, dan satu hal lagi, aku tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi janjiku padamu, ibu...
Engkau mengkhianatiku...” , nuraniku menjerit.
Suara hatiku terus bergemuruh, riuh kudengar tanpa bisa kuhentikan.
“ mengapa harus hari itu... mengapa harus dihari ulang tahunku yaa Rabb..”
Dan kali ini aku berbisik lirih, sangat lirih dan kupastikan hanya aku dan Engkau ya Rabb yang bisa mendengarnya.
***
Hari ini ulang tahunku yang ke 15. Tak ada yang istimewa. Teman-temanku memberi kejutan untukku. Aku hanya berpura-pura bahagia. Hanya berpura-pura tertawa. Tapi dalam hati aku menangis. Menangisi kejadian hari ini satu tahun yang lalu. Kulihat teman-temanku masing-masing mempunyai rencana memberi hadiah kepada ibu mereka. Karena memang besok bertepatan Tanggal 22 desember yaitu hari ibu. Menurutku tidak adil. Hari ibu hanya diperuntukkan bagi anak yang yang masih mempunyai ibu, Tidak untukku. Kembali hatiku memprotes.
Hari ini aku merasa tidak enak badan. Aku memilih minta izin untuk pulang kerumah menenangkan hati dan pikiranku. Sesampainya dirumah, aku ingin segera merebahkan tubuhku. Ingin segera tidur dan berharap hari ini berlalu dengan cepat.
Tak sengaja aku melihat tas ibuku yang tergantung dikamarnya. Memang barang-barang ibuku dan kamarnya tidak pernah diubah atau dibereskan, semua masih seperti sebelumnya. Tak ingin menyingkirkan kenangan tentang ibuku juga barang-barangnya.
Kakiku melangkah mendekati tas ibuku. Entah dorongan dari mana tapi aku terus mendekati tas itu. Aku pikir aku terlalu merindukan ibuku. Jadi mungkin hanya dengan melihat tas kesayangan ibuku itu, aku bisa bernostalgia, mengingat kenangan-kenangan indah bersama ibuku. Tas itu memang selalu dibawa ibuku kemana-mana, bahkan ketika dia dirawat dirumah sakit setahun yang lalu.
Tanganku gemetar meraih tas itu. Kubuka dan kulihat isinya. Ternyata hanya ada sebuah dompet dan alqu’an kecil. Kubuka dompet ibuku itu , disana kulihat potoku yang terpajang didalam dompet itu. Potoku sewaktu masih kecil. Hatiku mulai gerimis. Aku terharu, tapi segera kukuatkan diriku untuk tidak menangis. Aku merngambil alqur’an kecil itu. Alqur’an itu sedikit usang karena telah lama tidak dibaca. Mungikn jika ibuku masih ada, pasti alqur’an ini tidak usang seperti ini. Selalu dibacanya sehabis shalat fardhu.
setelah aku lihat dengan teliti, ada sebuah kertas terselip diantara lembaran Alqur’an itu. Aku penasaran lalu kubuka alqur’an itu tepat ditempat kertas itu terselip. Kubuka kertas itu ternyata sebuah surat yang ditulis ibuku.
Anakku,
ibu takut kalau tidak ada lagi waktu untuk mengatakannya padamu.
Ibu sayang sekali padamu, nak. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sayang ibu padamu.
Ibu ingin sekali melihatmu tumbuh dewasa dalam asuhan ibu. Ibu sangat ingin..
Tapi sekali lagi, ibu tidak tau apakah ibu bisa membimbingmu hingga dewasa nanti.
Anakku,
Sekarang ibu sedang melihatmu terlelap.. ibu rasa kamu sangat kelelahan menjaga ibu seharian dirumah sakit ini.
Entah mengapa ibu hanya ingin pamit padamu, tapi ibu kasihan jika harus membangunkanmu.
Ibu berdoa untukmu, nak.
Semoga kamu menjadi anak yang shalehah. Walau tidak ada ibu disampingmu.
Ibu yakin kamu pasti bisa melalui masa remajamu dengan baik.
Ibu akan bahagia disana jika anak ibu yang ibu tinggalkan menjadi anak yang shalehah dan bisa mendoakan ibu disana.
Salam sayang,
Ibumu
21 Desember 2007, pukul 22.30
Air mataku jatuh tanpa bisa kubendung lagi. Walau telah kukerahkan seluruh kekuatanku untuk tidak menangis. Aku tetap tidak bisa.
“Ibu..., andai engkau membangunkanku malam itu. Akan aku peluk engkau dan terus kubisikkan kalimat “aku sayang padamu, ibu”
Aku sangat menyesal telah menyianyiakan kehidupanku setahun terakhir ini. Mengapa aku marah pada ketetapan-Nya ? padahal ibuku juga berharap besar bisa bersama diriku lebih lama.
Tapi bukankah tiap – tiap yang bernyawa pasti menjumpai kematian ?? mengapa aku tidak sadar itu dari dulu. Aku memang egois.
Kutarik nafas panjang lalu kuhembuskan perlahan.
“Astaghfirullahal adzim”, aku memohon pada-Nya atas kekeliruanku selama ini.
Kulihat Al-Qur’an itu. Masih terbuka. Kuraih dan kubaca terjemahannya tepat pada halaman surat ibu terselip.
“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya ( auratnya)........”
Aku tersenyum.
Aku teringat teman-temanku yang sedang mempersiapkan kado untuk ibu mereka di hari ibu besok.
“ sepertinya aku tau kado apa yang harus aku berikan pada ibu..” bisik hatiku.
Kubuka lemari ibu. Kuambil sehelai kain segi empat berwarna putih.
“ Ibu, insya Allah aku akan memakai ini. Aku akan berusaha mencapai predikat anak yang shalehah agar bisa mendoakanmu. Sampai suatu saat ketika waktuku habis didunia ini... bismillah...”
Kurasakan tetes embun jatuh dari pelupuk mataku.. baru kali ini aku merasa bahagia disaat menangis.
Kulihat cermin didepanku, tampak sosokku yang baru.
Aku sangat nyaman...
Hatiku tak lagi dingin, terasa begitu hangat..
Semua berkat kasih sayang-Nya, juga berkat benda yang kupakai sekarang...
Ya, bnda itu ...
Jilbab ibuku...
nb : terkhusus untuk ibundaku tercinta :)
"ibu adalah bukti nyata kasih sayang Allah untuk kita :)"
oleh : Tiara Sonia
Kata yang terdengar asing bagiku. Setidaknya dalam setahun terakhir ini. Setiap kali mendengar kata itu, hanya luka yang menggores hatiku semakin dalam dan menganga.
Ya, panggilan itu hilang dalam hari-hariku semenjak kejadian itu. Kejadian yang bahkan tak ingin kuingat. Kejadian yang membuat hari-hariku kelam dan suram. Kejadian yang membuat hidupku berubah.
Saat ini pikiranku dipenuhi tanda tanya,
mengapa hal itu terjadi padaku? mengapa harus saat itu? dan mengapa harus dia..?
singkat kata aku sangat marah, marah pada ketetapan-Nya.
Kejadiannya setahun yang lalu menjelang hari ulang tahunku. Aku baru menginjak masa-masa remaja. Masa yang begitu indah. Aku dikaruniai ibu yang luar biasa menyayangiku. Hari-hariku dipenuhi canda tawa dengannya. Sampai suatu hari, sehari sebelum ulang tahunku yang ke 14. Ibuku masuk rumah sakit. Aku tidak pernah menduga sebelumya ibuku akan sakit, karna memang semua terlihat baik-baik saja dan ibuku terlihat sehat-sehat saja. Saat itu ibuku berkata,
“ibu baik-baik saja, kamu doakan ibu ya nak, biar cepat keluar dari rumah sakit”
Aku lega mendengarnya. Aku terbiasa mempercayai kata-kata ibuku. Dia sama sekali tak pernah berbohong padaku. Aku sangat percaya ibuku tidak apa-apa, mungkin hanya kecapekan karena rutinitas sehari-hari, pikirku waktu itu.
“ ibu tau kan besok hari apa?” tanyaku.
“ hmm besok tanggal 21 desember, hari rabu, kenapa dengan hari itu ?”, ibuku pura-pura tidak tau.
“ aaah, ibu jahat.”
“ iya iya, ibu tau nak, itu hari ulang tahunmu kan. Mau kado apa ?”.
“ hmm, aku ingin ibu sehat lagi dan keluar dari rumah sakit, itu kado yang sangat kuinginkan saat ini, bu, ” kutatap matanya.
“kamu anak yang baik” ibuku tersenyum.
Dia lalu memelukku hangat.
“ boleh ibu minta sesuatu..”
“ sangat boleh” jawabku cepat.
“ rambutmu bagus, lebih bagus lagi kalau ditutup jilbab seperti ibu. Biar jadi anak yang shalehah”. Ibuku berkata sambil penuh harap.
“ oke oke”. Jawabku enteng.
Selanjutnya aku meninggalkan kamar rumah sakit itu untuk mencari makanan kecil. Perutku keroncongan. Dari siang aku tidak makan sedikitpun. Waktu menunjukkan pukul sembillan malam, aku pergi membeli beberapa roti dan satu botol air mineral. Cukup mengganjal perutku. Setelah itu aku kembali kekamar ibuku. Kulihat ibuku sudah tertidur pulas. Aku duduk sambil memakan roti disamping tempat tidur ibuku. Aku mengantuk lalu tertidur juga.
Aku terbangun pukul 6 pagi. Aku belum shalat shubuh. Ketika aku beranjak dari kursiku. Aku melihat ibuku sekilas. Dia masih tertidur pulas. Aku jadi enggan membangunkannya.
Aku lalu shalat shubuh dimusholla rumah sakit. Selesai shalat aku berdoa untuk kesembuhan ibuku juga berdoa untuk umurku yang telah bertambah hari itu. Setelah itu aku kembali kekamar ibuku. Aku melihat wajah ibuku pucat tapi dia masih tertidur pulas. Aku lalu berinisiatif membangunkannya. Tapi ketika aku menyentuh pipinya. Wajahnya terasa dingin. Kusentuh kakinya sama saja, terasa dingin. Aku panik sekali. Apakah ibuku kedinginan ?? padahal semalam tidak hujan dan aku merasa ibuku tetap hangat semalam karena kuselimuti dengan selimut yang tebal.
Aku keluar memanggil suster, dan sesaat kemudian dokter juga datang kekamar ibuku. Dia lalu memeriksa kondisi ibuku yang aneh.
“ Innalillahi...” . dokter itu berbisik.
Jangan kira aku tidak mendengarnya, Sangat jelas terdengar ditelingaku.
“ Dokter bilang apa tadi ? tolong jangan bercanda, dok.”. Aku sedikit berteriak.
Aku ingin jawaban dokter kali ini bisa melegakanku. Aku ingin dari mulut dokter itu keluar kalimat, “ Semuanya baik-baik saja.” Tapi keinginanku itu hanya angan-angan ketika kudengar doter berujar sekali lagi,
“ ibumu meninggal nak..”
Kalimat itu, kalimat yang paling tidak ingin kudengar dihidupku. Pikiranku menjadi kosong. Aku berusaha mencerna maksud kalimat dokter itu dengan baik, namun tetap sulit kupercaya. Selanjutnya, aku tidak ingat apa-apa lagi. Ketika aku terbangun, aku sudah berbaring dikamarku, dirumahku, yang saat itu menjadi “rumah duka”.
***
kejadian setahun yang lalu masih begitu jelas diingatanku, tanpa terpenggal sedikitpun.
huh.. ternyata begitu kado yang kudapat di hari ulang tahunku. Kado terburuk yang pernah kudapat.
“ ibu.. ingatkah kau berjanji padaku akan sembuh, akan sehat lagi, dan kita bisa bercanda tertawa bersama lagi ?”
“Dan jangan salahkan aku, bila aku marah pada-Nya..
Dia telah mengambil engkau dariku, dan satu hal lagi, aku tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi janjiku padamu, ibu...
Engkau mengkhianatiku...” , nuraniku menjerit.
Suara hatiku terus bergemuruh, riuh kudengar tanpa bisa kuhentikan.
“ mengapa harus hari itu... mengapa harus dihari ulang tahunku yaa Rabb..”
Dan kali ini aku berbisik lirih, sangat lirih dan kupastikan hanya aku dan Engkau ya Rabb yang bisa mendengarnya.
***
Hari ini ulang tahunku yang ke 15. Tak ada yang istimewa. Teman-temanku memberi kejutan untukku. Aku hanya berpura-pura bahagia. Hanya berpura-pura tertawa. Tapi dalam hati aku menangis. Menangisi kejadian hari ini satu tahun yang lalu. Kulihat teman-temanku masing-masing mempunyai rencana memberi hadiah kepada ibu mereka. Karena memang besok bertepatan Tanggal 22 desember yaitu hari ibu. Menurutku tidak adil. Hari ibu hanya diperuntukkan bagi anak yang yang masih mempunyai ibu, Tidak untukku. Kembali hatiku memprotes.
Hari ini aku merasa tidak enak badan. Aku memilih minta izin untuk pulang kerumah menenangkan hati dan pikiranku. Sesampainya dirumah, aku ingin segera merebahkan tubuhku. Ingin segera tidur dan berharap hari ini berlalu dengan cepat.
Tak sengaja aku melihat tas ibuku yang tergantung dikamarnya. Memang barang-barang ibuku dan kamarnya tidak pernah diubah atau dibereskan, semua masih seperti sebelumnya. Tak ingin menyingkirkan kenangan tentang ibuku juga barang-barangnya.
Kakiku melangkah mendekati tas ibuku. Entah dorongan dari mana tapi aku terus mendekati tas itu. Aku pikir aku terlalu merindukan ibuku. Jadi mungkin hanya dengan melihat tas kesayangan ibuku itu, aku bisa bernostalgia, mengingat kenangan-kenangan indah bersama ibuku. Tas itu memang selalu dibawa ibuku kemana-mana, bahkan ketika dia dirawat dirumah sakit setahun yang lalu.
Tanganku gemetar meraih tas itu. Kubuka dan kulihat isinya. Ternyata hanya ada sebuah dompet dan alqu’an kecil. Kubuka dompet ibuku itu , disana kulihat potoku yang terpajang didalam dompet itu. Potoku sewaktu masih kecil. Hatiku mulai gerimis. Aku terharu, tapi segera kukuatkan diriku untuk tidak menangis. Aku merngambil alqur’an kecil itu. Alqur’an itu sedikit usang karena telah lama tidak dibaca. Mungikn jika ibuku masih ada, pasti alqur’an ini tidak usang seperti ini. Selalu dibacanya sehabis shalat fardhu.
setelah aku lihat dengan teliti, ada sebuah kertas terselip diantara lembaran Alqur’an itu. Aku penasaran lalu kubuka alqur’an itu tepat ditempat kertas itu terselip. Kubuka kertas itu ternyata sebuah surat yang ditulis ibuku.
Anakku,
ibu takut kalau tidak ada lagi waktu untuk mengatakannya padamu.
Ibu sayang sekali padamu, nak. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sayang ibu padamu.
Ibu ingin sekali melihatmu tumbuh dewasa dalam asuhan ibu. Ibu sangat ingin..
Tapi sekali lagi, ibu tidak tau apakah ibu bisa membimbingmu hingga dewasa nanti.
Anakku,
Sekarang ibu sedang melihatmu terlelap.. ibu rasa kamu sangat kelelahan menjaga ibu seharian dirumah sakit ini.
Entah mengapa ibu hanya ingin pamit padamu, tapi ibu kasihan jika harus membangunkanmu.
Ibu berdoa untukmu, nak.
Semoga kamu menjadi anak yang shalehah. Walau tidak ada ibu disampingmu.
Ibu yakin kamu pasti bisa melalui masa remajamu dengan baik.
Ibu akan bahagia disana jika anak ibu yang ibu tinggalkan menjadi anak yang shalehah dan bisa mendoakan ibu disana.
Salam sayang,
Ibumu
21 Desember 2007, pukul 22.30
Air mataku jatuh tanpa bisa kubendung lagi. Walau telah kukerahkan seluruh kekuatanku untuk tidak menangis. Aku tetap tidak bisa.
“Ibu..., andai engkau membangunkanku malam itu. Akan aku peluk engkau dan terus kubisikkan kalimat “aku sayang padamu, ibu”
Aku sangat menyesal telah menyianyiakan kehidupanku setahun terakhir ini. Mengapa aku marah pada ketetapan-Nya ? padahal ibuku juga berharap besar bisa bersama diriku lebih lama.
Tapi bukankah tiap – tiap yang bernyawa pasti menjumpai kematian ?? mengapa aku tidak sadar itu dari dulu. Aku memang egois.
Kutarik nafas panjang lalu kuhembuskan perlahan.
“Astaghfirullahal adzim”, aku memohon pada-Nya atas kekeliruanku selama ini.
Kulihat Al-Qur’an itu. Masih terbuka. Kuraih dan kubaca terjemahannya tepat pada halaman surat ibu terselip.
“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya ( auratnya)........”
Aku tersenyum.
Aku teringat teman-temanku yang sedang mempersiapkan kado untuk ibu mereka di hari ibu besok.
“ sepertinya aku tau kado apa yang harus aku berikan pada ibu..” bisik hatiku.
Kubuka lemari ibu. Kuambil sehelai kain segi empat berwarna putih.
“ Ibu, insya Allah aku akan memakai ini. Aku akan berusaha mencapai predikat anak yang shalehah agar bisa mendoakanmu. Sampai suatu saat ketika waktuku habis didunia ini... bismillah...”
Kurasakan tetes embun jatuh dari pelupuk mataku.. baru kali ini aku merasa bahagia disaat menangis.
Kulihat cermin didepanku, tampak sosokku yang baru.
Aku sangat nyaman...
Hatiku tak lagi dingin, terasa begitu hangat..
Semua berkat kasih sayang-Nya, juga berkat benda yang kupakai sekarang...
Ya, bnda itu ...
Jilbab ibuku...
nb : terkhusus untuk ibundaku tercinta :)
"ibu adalah bukti nyata kasih sayang Allah untuk kita :)"
oleh : Tiara Sonia
0 komentar:
Posting Komentar